Kamis, 01 Desember 2011

Koneksi Matematis Menggunakan CTL


Abstrak
Adanya kenyataan bahwa sebagian  besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata, merupakan salah satu akibat proses pembelajaran yang kurang memperhatikan kemampuan matematis yang harus dimiliki siswa yaitu kemampuan koneksi matematis. Hal ini tentu sangat jauh dari tujuan yang diharapkan, karena sebenarnya tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah membekali peserta didik untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berdasarkan kenyataan di atas, tentu tidak terlepas dari peran seorang guru,karena guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah kemampuan paedagogik dalam pengelolaan pembelajaran, seperti penggunakan strategi atau pendekatan, dan perencanaaan pembelajaran seperti menyiapkan bahan ajar. Untuk itu, salah satu pendekatan yang dapat menopang peserta didik untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis adalah dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), karena prinsip pembelajaran kontekstual adalah mendorong siswa untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan yang dimiliki dan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci: Kemampuan Koneksi Matematis, CTL, Keterkaitan Koneksi Matematis dengan CTL
 
1. Pendahuluan
Pengertian pendidikan yang tercantum dalam UU SISDIKNAS Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Secara implisit dapat dimaknai bahwa peserta didik atau siswa adalah orang yang sudah memiliki potensi dalam dirinya dan perlu dikembangkan.
Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan pendidikan di atas, guru merupakan salah satu komponen yang sangat mempengaruhi proses pendidikan. Hal ini memang wajar, sebab guru adalah ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa. Bagaimanapun bagus dan idealnya kurikulum, lengkapnya sarana dan prasarana penddikan tanpa diimbangi dengan kemampuan guru dalam mengimplementasikannya, maka semuanya akan kurang bermakna, sehingga profesionalnya seorang guru sangat menentukan kualitas pendidikan.
Guru dikatakan professional jika memenuhi tiga persyaratan yaitu memiliki kualifikasi akademik (S1/DIV), empat kompetensi dan sertifikat pendidik. Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimilikioleh seorang guru, salah satunya adalah kompetensi paedagogik. Sanjaya (2009: 20), menyatakan bahwa dalam kompetensi paedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
1.      Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
2.      Pemahaman peserta didik
3.      Pengembangan kurikulum/silabus
4.      Perencanaan pembelajaran
5.      Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
6.      Pemanfaatan teknologi pembelajaran
7.      Evaluasi hasil belajar
8.      Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisaasikan berbagai potensi yang dimiliknya.
Dengan demikian, salah satu indikasi sehingga dapat dikatakan seorang guru memiliki kompetensi paedagogik ialah mampu mampu menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetnsi yang ingin dicapai dan materi ajar.
            Berkaitan dengan tujuan pendidikan di atas, dapat dispesifikkan lagi sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif terhadap pendidikan dan kehidupan yaitu matematika. Orientasi pembelajaran matematika saat ini upaya membangun persepsi positif dalam mempelajari matematika di kalangan anak didik, dalam hal ini guru dipacu memberikan gambaran-gambaran yang rasional tentang kemudahan serta kegunaan matematika bagi anak dalam suasana yang memberikan kenyamaan di tengah kesulitan yang dihadapi oleh anak saat mempelajari matematika sehingga anak bisa belajar dengan baik dan menghasilkan prestasi yang memadai.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah yang tentu memiliki peran penting dalam mencapai tujuan pendidikan, karena matematika membekali peserta didik untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Adapun tujuan pendidikan matematika sebagaimana yang terdapat dalam KTSP yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
1.      Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam menyelesaikan masalah.
2.      Menggunakan penalaran pada pola sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3.      Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4.      Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5.      Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006).
Sejalan dengan tujuan pendidikan matematika seperti yang diungkapkan di atas, para ahli pendidikan dan para perancang kurikulum merumuskan empat kemampuan matematis yang diharapkan dapat dicapai siswa mulai dari tingkat dasar sampai tingkat menengah. Keempat kemampuan matematis tersebut adalah penalaran, pemecahan masalah, koneksi dan komunikasi.
Kemampuan koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki dan tidak dapat dihindari kehadirannya disaat seseorang mempelajari matematika. Hal ini dikarenakan karakteristik matematika itu terbentuk dari konsep-konsep yang saling terkait dan saling menunjang. Menurut Satriawati dan Kurniawati dikatakan bahwa melalui peningkatan kemampuan koneksi matematis, kemampuan berpikir dan wawasan siswa terhadap matematika dapat pula meningkatkan kognitif siswa seperti mengingat kembali, memahami, penerapan suatu konsep dan sebagainya.
 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya seorang guru yang visioner dan mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif dan inovatif, sehingga dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa. Untuk itu, diperlukannya perubahan strategi dan model pembelajaran yang sedemikian rupa memberikan nuansa yang menyenangkan bagi guru dan siswa, kebermaknaan materi bagi siswa.
            Namun pada kenyataannya, ”pendidikan kita masih sangat lemah dalam proses pembelajaran” (Sanjaya, 2009: 1). Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Selain itu, dengan adanya kenyataan bahwa sebagaian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata, maka sangat diperlukannya pendekatan kontekstual dalam proses pembelajaran. Dengan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL), dapat membantu guru dalam proses pembelajaran untuk mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya.
            Berdasarakan uraian di atas, penulis tertarik untuk menulis tentang Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran CTL.

2. Kajian Teori
2.1 Kemampuan Koneksi Matematis
            Wahyudin (2008) mengungkapkan bahwa koneksi merupakan hubungan. Kaitannya dengan matematika lebih lanjut dikatakannya bahwa koneksi itu merupa hubungan-hubungan matematis dan saling pengaruh yang terjadi antar topik maatematika, di luar matematika dan di dalam minat-minat dan pengalaman siswa sendiri
Menurut NCTM (dalam Herdian, 2010) diuraikan bahwa Ada dua tipe umum koneksi matematik yaitu modeling connections dan mathematical connections. Modeling connections merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau dalam disiplin ilmu lain dengan representasi matematiknya, sedangkan mathematical connections adalah hubungan antara dua representasi yang ekuivalen, dan antara proses penyelesaian dari masing-masing representasi. Keterangan NCTM tersebut mengindikasikan bahwa koneksi matematika terbagi ke dalam tiga aspek kelompok koneksi, yaitu: aspek koneksi antar topik matematika, aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan aspek koneksi dengan dunia nyata siswa/ koneksi dengan kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan makna yang diungkapkan di atas, Sarbini (2008) mengambil intisari dari makna koneksi matematis adalah pengaitan matematika dengan pelajaran lain, atau dengan topik lain.
            Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan untuk mengaitkan antara konsep-konsep matematika secara internal yaitu berhubungan  dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara eksternal, yaitu matematika dengan bidang lain baik bidang studi lain maupun dengan kehidupan sehari-hari.
            Adapun indikator dari koneksi matematis yang dikemukanan oleh Jihad (2008) sebagai berikut:
  1. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.
  2. Memahami hubungan antartopik matematika.
  3. Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Memahami representasi ekuivalen konsep yang sama.
  5. Mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yanng ekuivalen.
  6. Menggunakan koneksi antartopik matematika, anatar topik matematika dengan topik yang lain.
Secara ringkasnya Sumarmo (dalam Herdian, 2010) juga mengemukakan kemampuan koneksi matematis siswa dapat dilihat dari indikator-indikator berikut:
1.      mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama.
2.       mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen.
3.      menggunakan dan menilai keterkaitan antar topik matematika dan keterkaitan diluar matematika.
4.       menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan–kemampuan yang diharapkan setelah siswa mendapatkan pembelajaran yang menekankan pada aspek koneksi matematika menurut standar kurikulum NCTM (dalam Yuli, 2011) adalah :
1.Siswa dapat menggunakan koneksi antar topik matematika.
2.Siswa dapat menggunakan koneksi antara matematika dengan disiplin ilmu
lain.
3.Siswa dapat mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama.
4.Siswa dapat menghubungkan prosedur antar representasi ekuivalen.
5.Siswa dapat menggunakan ide–ide matematika untuk memperluas
pemahaman tetang ide–ide matematika lainnya.
6.Siswa dapat menerapkan pemikiran dan pemodelan matematika untuk
menyelesaikan masalah yang muncul pada disiplin ilmu lain.
7.Siswa dapat mengeksplorasi dan menjelaskan hasilnya dengan grafik,
aljabar, model matematika verbal atau representasi.


2.2 Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Sanjaya (2009:255) mengungkapkan definisi Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan secara penuh untuk dapat menemukan materi yanng dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Sejalan dengan definisi di atas Muslich (2007: 41) juga mengungkapkan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran CTL adalah suatu pendekatan dalam proses pembelajaran, dimana siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran untuk menemukan materi yang dipelajari dengan cara mengaitkan materi tersebut dengan pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman siswa di kehidupan sehari-harinya.

2.3 Tujuh Asas Utama CTL
            Sanjaya (2009) mengatakan bahwa CTL sebagai suatu pendekatan memiliki asas-asas yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran yaitu:
1. Kontruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasikan objek tersebut.
2. Inkuiri
Inkuiri merupakan proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.

3. Bertanya
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya merupakan cerminan dari keingintahuan siswa, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, tetapi memancing siswa agar siswa dapat menemukan sendiri, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
4. Masyarakat Belajar
Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya maupun dilihat dari bakat dan minatnya.
5. Pemodelan
Yang dimaksud dengan pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
6. Refleksi
            Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa yang telah dilauinya. Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkan secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya sendiri sehingga siswa dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
7. Penilaian Nyata
            Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian yang autentik dilakukan secara intergrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan hasil belajar.

2.3 Keterkaitan Koneksi Matematis dengan CTL
Pembelajaran CTL adalah suatu pendekatan dalam proses pembelajaran, dimana siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran untuk menemukan materi yang dipelajari dengan cara mengaitkan materi tersebut dengan pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman siswa di kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan pengertian pendekatan CTL ini, sangat sejalan dengan makna koneksi matematis yang diuraikan di atas yaitu kemampuan untuk mengaitkan antara konsep-konsep matematika secara internal yaitu berhubungan  dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara eksternal, yaitu matematika dengan bidang lain baik bidang studi lain maupun dengan kehidupan sehari-hari.
Owens (dikutip oleh Sulianto, 2011) juga menyatakan bahwa pengajaran konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat, ketertarikan belajar siswa dari berbagai latar belakang serta meningkatkan partisipasi siswa dengan mendorong secara aktif dalam memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengkoneksikan dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pendapat lain mengenai komponen-komponen utama dari pengajaran kontekstual yaitu menurut Johnson (dalam Sulianto, 2011), yang menyatakan bahwa pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi untuk menemukan makna, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa untuk aktif, pengaturan belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok, menekankan berpikir kreatif dan kritis, pengelolaan secara individual, menggapai standar tinggi, dan menggunakan asesmen otentik.
Adapun dari ketujuh asas CTL di dalam pengaplikasiannya, asas konstruktivisme merupakan asas yang memang sangat penting dan sejalan dengan peningkatan kemampuan koneksi matematis. Hal ini dikarenakan, asas konstruktivisme itu sendiri adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dengan demikian, di dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk berpikir mandiri dengan membangun pengetahuan yang baru melalui pengetahuan yang telah mereka dapatkan sebelumnya baik dari segi akademik maupun nonakademik (kehidupan sehari-hari). Hal ini tentunya bermuara pada kemampuan siswa tersebut dalam menghubungkan (mengkoneksikan) antara apa yang akan mereka pelajari dengan topik-topik sebelumnya atau bahkan di luar matematika sehingga pada akhirnya siswa bisa menemukan (inkuiri) sendiri konsep, prinsip, skill yang baru.
            Namun, kegiatan dalam mengkonstruk itu sendiri tidak akan dapat berjalan dengan optimal jika tidak iringi dengan kegiatan atau interaktivitas di dalam proses pembelajaran seperti halnya masyarakat belajar, bertanya, pemodelan. Serta belum dapat terlihat apakah kemampuan koneksi tersebut sudah dimiliki oleh siswa atau belum tanpa adanya refleksi dan penilaian nyata.
            Dengan demikian, tujuh asah CTL tersebut sangat mendukung sekali atau menunjang dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis.

Daftar Pustaka

Herdian. 2010. Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Tersedia: (http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-koneksi matematik-siswa/), diakses tanggal 16 oktober 2011.

Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika. Bandung: Multi Pressindo.

Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sarbani, Bambang. 2008. Standar Proses Pembelajaran Matematika.Tersedia:  (http://bambangsarbani.blogspot.com/2008/10/standar-proses-pembelajaran-matematika.html), diakses tanggal 16 oktober 2011.

Satriawati, Gusti dan Lia Kurniawati. Menggunakan fungsi-fungsi untuk membuat koneksi matematika. Tersedia: (http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/310895111), diakses tanggal 16 oktober 2011.

Sulianto, Joko. 2011. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkann Berpikir Kritis pada Siswa Sekolah Dasar. Tersedia:
file:///D:/index.php.htm.
diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Yuli. 2011. Pengertian Koneksi Matematika Menurut NCTM. Tersedia: http://yulimpd.files.wordpress.com/2011/01/makalah-koneksi.pdf, diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Jakrta: IPA Abong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar